Kamis, 02 Desember 2010

Adikku jatuh dari sepedanya... *siapa yang salah?*


Aku adalah anak sulung dari empat bersaudara, aku anak perempuan sendiri, ketiga adikku laki-laki. Kami sekeluarga, adik-adikku dan aku adalah anak-anak luar biasa (baca: tidak bisa diam) bahkan beberapa menyebut kami hiper aktif. Namun adik bungsuku adalah anak yang lembut hatinya, peka, paling mudah tersentuh di antara kami semua. Pernah ia menangis padahal abangnya yang dimarahi. Kala itu si abang pulang lebih sore dari biasanya, kami semua panik karena tak ada sedikitpun kabar. Matahari sudah mulai ingin menyembunyikan diri, ditengah kepanikan kami, si abang pulang, tanpa merasa bersalah ia bercerita tentang kemenangannya bermain bola di lapangan sekolahnya. Namun cerita cerianya disambut kemarahan ayah yang disusul tangis si bungsu. Pernah pula si bungsu menangis karena melihat abangnya kesakitan setelah disunat. Adikku disunat pada saat kelas 4 akan naik ke kelas 5 SD, saat itu si bungsu baru kelas 2 SD, kini dia telah kelas 5 SD. Setelah disunat adikku tak bisa tidur karena kesakitan dan kepanasan, dia tak menangis, hanya meringis saja, saat itu si bungsu menghampiriku sambil menangis, ia bilang : “mbak, mesakke yo bang yayan, mesakke yo mbak!” (“mbak, kasian ya bang yayan, kasihan ya mbak!”) Dia juga yang paling mudah disentuh dengan nasehat-nasehat, walau tetap ada bandelnya dan kebandelan ini adalah salah kami sebagai orangtua yang dulu kurang memperlakukan hatinya dengan cinta. Padahal saat kita sentuh hatinya dengan cinta dan kasih sayang yang lembut maka dia akan membalas serupa. Tapi jangan salahkan saat hatinya dilukai dengan kata kasar penuh kebencian maka akan tumbuh benih kebencian disana. Semua yang ia terima akan sangat membekas di jiwanya, di hatinya yang lembut.

Kemarin menjelang siang adikku pulang sekolah, seperti biasa, ia menguluk salam, tapi ada yang lain dari nada suaranya. "Assalamu’alaikum mbak, buka pintunya!!" saya : "Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.. bentar dek.." setelah ia masuk dan memasukkan sepadanya (adikku berangkat dan pulang sekolah naik sepeda) tanpa ditanya dia menyerocos.. ‘mbak, aku mau nabrak motor, tiba, sakit tenan je!!!’ (mbak, aku tadi menabrak motor, jatuh, sakit sekali!!) saya: "inalillah, piye dek ko iso? Ndi sik sakit?" (inalillah, bagaimana bisa? Mana yang sakit?).. soale aku ndeloke ban terus, dadi nabrak motor mandhek.. bejo sik nduwe ora nyeneni mb.. (soalnya aku ngliatin ban terus, jadi nabrak motor yg berhenti, untung yg punya ga memarahi). bejo ki sopo tho?! Alhamdulillah, ga ada yg marah!!! Aku melurusan, dia hanya tersenyum. Liat, endi yg sakit.. lalu dia memperlihatkan kaki dan tanganya yang memar dan ada sedikit luka lecet di tangannya. Yo wis, sana ganti baju, cuci kaki, wudhu trus sholat ya.. Setelah sholat nanti mbak obati lukanya.. Tanpa berkata-kata adikku beranjak menuju kamar untuk ganti baju kemudian ia berwudhu di kamar mandi..

Aku berpikir pastilah ada yg mengganggu pikiran adikku sampai melamun di jalan saat mengendarai sepedanya. Dan ternyata benar, usai berwudhu dia mendekatiku, wajahnya seperti ingin bercerita, kenapa dek? tanyaku, kemudian dia berujar padaku, aku sebel mbak sama ‘mbah guru’ !!! (salah satu guru disekolahnya yang jg saudara kami), tadi tho, aku kan ga bawa baju olahraga, aku kan lupa mbak, bener-bener lupa, tapi mbah guru malah tetep marah trus bilang ‘nek sangu we ra lali!!’ (kalau bekal aja ga lupa!!)....  entah seperti apa cara mbah guru itu menyampaikan marahnya, tapi yang jelas sangat membekas di hati adikku, dan itu yg menyebabkan tadi ia melamun, dan itu jg menyebabkan sepanjang sore ia murung, tanpa senyum sedikitpun mengembang di bibirnya.

Bukan, bukan aku kecewa karena kemarahan mbah guru menyebabkan adikku jatuh dan terluka, karena luka-luka fisik itu akan sembuh dalam beberapa hari. Yang membuat aku sangat kecewa adalah luka yang timbul dihatinya, potensi kekeruhan jiwa karena kekasaran yg ia alami, kekerasan yg akibatnya melebihi kekasaran fisik. Hal ini mengingatkan suatu kisah yang saya baca dari salah satu buku karya ust. Mohammad Fauzil Adhim (Saat Berharga Untuk Anak Kita). Dalam buku tersebut dikisahkan mengenai Rasulullah yang menegur Ummu Fadhl ketika merenggut anaknya secara kasar dari gendongan Rasulullah karena anak itu pipis di dada Rasulullah. Saat itu Rasulullah berkata “Pakaian yang kotor ini dapat dibersihkan dengan air, tapi apa dapat menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutanmu yang kasar?” ya, renggutan fisik yang mungkin tidak melukai tapi kemarahan sang ibu akan sampai ke hati anak tersebut. Anak-anak yang baik, anak-anak yang bersih imannya dan hidup pikirannya tidak akan pernah lahir dari sikap kita yang keras dan tidak memberi mereka ruang untuk mencoba (masih dari buku yang sama). 

Maka sepanjang sore itu aku, ibu dan adikku yang paling bungsu berdialog tentang kejadian yang ia alami hari ini. Aku dan ibu mencoba menenangkannya dan berusaha agar tidak tumbuh kebencian di hatinya.. Kami berusaha semampu kami untuk melindungi jiwanya, mengembangkan senyumnya dan tak lupa memohon kepada Allah semoga kejadian ini tidak menambah bibit-bibit kekeruhan jiwa dalam hati adikku.. amiin..

Sebuah renungan bahwa diri inipun masih sering 'bernada tinggi' saat menasehati adik-adik, padahal itu menyebabkan tumbuh bibit kekeruhan jiwa di hati-hati mereka. walau niatnya 'baik', untuk menasehati, namun jika dilakukan dengan cara yang keras, kasar, dan menyakiti hati, bukannya mereka akan berubah menjadi lebih baik justru kekasaran kita tadi akan merusak jiwa mereka yang semestinya tumbuh indah penuh cinta dan akan menjadi bekal dirinya membangun karakter yg baik dan selalu lebih baik setiap waktu...









si bungsu yang lucu :)

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar